Bojonegoro, MEC.or.id – Setiap orang punya jalan hidup yang berbeda, namun perjuangan dan tekad mampu mengubah segalanya. Itulah yang dialami oleh Sintia Diyah Ayu Pratiwi, gadis kelahiran Bojonegoro, 5 Juni 2004, Alumni MEC Prodi Manajemen Zakat Angkatan 16, yang harus menghadapi kehilangan sejak usia dini.
Ibunya meninggal dunia saat Sintia baru berusia dua setengah tahun. Sejak itu, ia dibesarkan oleh Budhe yang penuh kasih sayang, sementara sang ayah menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga. Kehidupan berjalan cukup stabil hingga tahun 2018.
Hari itu menjadi salah satu hari paling kelam dalam hidup Sintia. Saat teman-teman seusianya sibuk merangkai mimpi masa depan di bangku SMA, ia justru harus menghadapi kenyataan pahit yang tidak pernah dibayangkan—sang ayah, satu-satunya sosok yang menjadi penopang hidupnya, dipanggil oleh Allah SWT.
Air matanya tumpah tanpa bisa dibendung. Ia teringat bagaimana ayah selalu berangkat pagi, pulang larut, hanya demi memastikan kebutuhan keluarga tercukupi. Ayah bukan hanya pencari nafkah, tetapi juga pelindung, sahabat, dan sumber semangat. Kini, rumah yang dulu penuh suara langkah dan nasihat hangat ayah, terasa begitu hening dan kosong.
Di saat teman-teman lain pulang ke rumah dengan disambut canda orang tua, Sintia harus menelan perasaan kehilangan yang dalam. Ia sadar, sejak kecil hidupnya sudah penuh ujian—ditinggal ibunda di usia dua setengah tahun, lalu kini harus rela melepaskan ayah yang begitu ia cintai. Saat itu, Sintia duduk di bangku kelas 1 SMA ketika sang ayah berpulang untuk selamanya.
“Dunia serasa runtuh. Saya takut tidak bisa melanjutkan sekolah karena tidak ada biaya,” kenangnya dengan mata berkaca-kaca.
Meski sempat putus asa, Sintia memilih untuk bangkit. Ia mulai mencari penghasilan sendiri dengan menjadi reseller baju, make up, sandal, dan kebutuhan rumah tangga secara online melalui Facebook dan WhatsApp. Walau keuntungan kecil, ia tetap berusaha memenuhi kebutuhan pokok dan biaya sekolah.
Namun perjuangan itu belum berakhir. Sintia hampir putus sekolah karena tidak mampu membayar biaya kenaikan kelas. Di sinilah keajaiban terjadi. Warga sekitar satu RT bergotong royong mengumpulkan iuran untuk membantu melunasi tunggakan biaya sekolah. Bahkan mereka ikut bernegosiasi dengan pihak sekolah agar Sintia bisa tetap belajar.
“Dari situ saya belajar arti kebersamaan dan doa. Ternyata masih banyak orang baik yang siap membantu,” ucapnya penuh rasa syukur.
Awal Mengenal LKP MEC
Awalnya, Sintia belum begitu mengenal apa itu MEC. Namun ketika mendengar bahwa lembaga ini tidak hanya memberikan pendidikan keterampilan dan kewirausahaan, tetapi juga menyediakan beasiswa penuh bagi anak-anak yatim, piatu, dan kurang mampu, hatinya langsung tertarik. Seakan ada secercah cahaya baru yang menerangi langkahnya.
Dengan penuh harap, Sintia mengikuti proses pendaftaran yang dibantu oleh pihak sekolah. Ia mengisi formulir, melengkapi persyaratan, dan menyiapkan diri menghadapi tahap seleksi. Setiap langkahnya diiringi doa agar inilah jalan terbaik yang Allah pilihkan untuknya.
Ketika kabar kelulusan itu datang, air mata bahagia pun menetes. Rasa syukur tak henti-hentinya ia panjatkan. Bagi Sintia, diterima di MEC bukan hanya kesempatan belajar, tetapi juga sebuah anugerah yang akan mengubah hidupnya. Di sinilah ia merasa perjalanan panjangnya yang penuh duka kini mulai menemukan arti—MEC hadir sebagai rumah baru yang menumbuhkan harapan dan membimbingnya menuju masa depan yang lebih cerah.
Bagi Sintia, diterima di Mandiri Entrepreneur Center (MEC) adalah sebuah titik balik kehidupan. Dari seorang siswi yang sempat bingung menatap masa depan, kini ia menemukan lingkungan baru yang bukan hanya memberikan ilmu, tetapi juga membentuk mental dan karakter.
Sejak awal, ia merasakan suasana yang berbeda. Hidup di asrama membuatnya belajar banyak hal: kedisiplinan, kemandirian, serta bagaimana menjaga kebersamaan dengan teman-teman dari berbagai daerah. Setiap pagi ia terbiasa dengan rutinitas yang teratur, mulai dari ibadah bersama, kegiatan belajar, hingga diskusi kelompok. Semua itu menumbuhkan rasa kekeluargaan yang erat, seakan MEC menjadi rumah kedua baginya.
Dari sisi pendidikan, Sintia benar-benar merasakan manfaat program berbasis kompetensi. Ia tidak hanya belajar teori di kelas, tetapi juga praktek nyata yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Mulai dari keterampilan komputer, desain, hingga keterampilan komunikasi. Setiap materi disampaikan dengan pendekatan yang aplikatif, membuatnya semakin percaya diri.
Namun yang paling berkesan bagi Sintia adalah saat mengikuti program wirausaha. Ia belajar bahwa menjadi pengusaha tidak selalu membutuhkan modal besar. Di MEC, ia diajarkan konsep “jualan tanpa modal”—cukup dengan modal mulut untuk komunikasi dan badan yang sehat untuk bergerak. Bersama teman-teman, ia mencoba mempraktikkan cara menawarkan produk dan jasa.
Awalnya ia merasa canggung, tapi lama-kelamaan ia menyadari bahwa kunci keberhasilan ada pada keberanian berbicara, meyakinkan orang, dan menjaga kepercayaan pelanggan. Dari pengalaman itu, Sintia belajar bahwa modal terbesar seorang wirausaha adalah diri sendiri: kemampuan berkomunikasi, sikap jujur, dan semangat pantang menyerah.
“Saya pernah keluar tanpa membawa uang sepeser pun, lalu pulang dengan keuntungan dari hasil berjualan. Itu pengalaman tak terlupakan,” katanya sambil tersenyum.
Perubahan Positif Setelah Lulus
Setelah menempuh pendidikan berbasis kompetensi dan wirausaha di Mandiri Entrepreneur Center (MEC), Sintia berhasil menapaki babak baru dalam hidupnya. Bekal keterampilan, kedisiplinan, dan pengalaman keasramaan membuatnya siap terjun ke dunia kerja.
Setelah magang di Yatim Mandiri Nganjuk selama 2 bulan, ia diterima sebagai Staf Admin Keuangan di Yatim Mandiri Nganjuk selama 1 tahun lalu lanjut sebagai staf Admin Keuangan Yatim Mandiri Tuban, sebuah pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan yang telah ia asah selama di MEC. Pendapatan yang ia peroleh cukup untuk menunjang kebutuhan sehari-hari, sekaligus menjadi wujud nyata bahwa perjuangan dan doa panjangnya tidak sia-sia.
Lebih dari sekadar pekerjaan, karier ini menjadi tonggak perubahan besar bagi Sintia. Ia tumbuh menjadi pribadi yang jauh lebih mandiri, disiplin, dan percaya diri. Tantangan yang ia hadapi justru menumbuhkan keberanian untuk terus belajar dan mencoba hal-hal baru. Dari seorang anak yang pernah kehilangan arah setelah ditinggal kedua orang tua, kini Sintia menjelma menjadi sosok yang tegar dan penuh semangat, membawa harapan dan inspirasi bagi orang-orang di sekitarnya.
“Saya belajar bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk sukses. Justru tantanganlah yang membentuk saya menjadi lebih kuat,” ungkapnya.
Pesan untuk Generasi Muda
Sintia berpesan kepada generasi muda, khususnya peserta didik MEC, agar tidak mudah menyerah. “Percayalah pada proses. Hari-hari kalian di MEC adalah investasi masa depan. Nikmati prosesnya dan jadikan setiap tantangan sebagai peluang,” pesannya penuh semangat.
Dengan kisah inspiratif ini, Sintia membuktikan bahwa pendidikan, dukungan lingkungan, dan kerja keras dapat mengubah masa depan